-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pemakzulan Gibran Dianggap Sangat Sulit Secara Politik, Mahfud Singgung Koalisi Besar Prabowo-Gibran

Wednesday, 7 May 2025 | 19:22 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-07T12:22:39Z

 


Jakarta,R-Semeru.com -- Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menganggap pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka, akan sangat sulit secara politik.


Bukan tanpa alasan Mahfud berkata demikian. Sebab, kata dia, koalisi Prabowo Subianto-Gibran saat ini sangat besar, bahkan sudah mencapai 81 persen.


Sementara, jika ingin memakzulkan presiden dan/atau wakil presiden, harus dimulai dulu dengan sidang pleno DPR, di mana setidaknya harus dihadiri 2/3 anggota.


Apabila melihat dominasi kekuatan politik koalisi Prabowo-Gibran tersebut, menurut Mahfud, sidang pleno itu sangat sulit terwujud.


"Usul pemakzulan Gibran itu secara teoritis ketatanegaraan bisa, tapi secara politik akan sulit," ucapnya, dikutip Tribunnews dari Youtube Mahfud MD Official, Rabu (7/5/2025). 


"Enggak mungkin (bisa dilakukan pemakzulan) secara politik. Karena sekali lagi koalisinya (Prabowo-Gibran) sudah 81 (persen)," kata Mahfud. 


Mahfud pun menjelaskan, secara ketatanegaraan, terdapat enam hal yang membuat presiden dan/atau wakil presiden dapat dimakzulkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.


Meski nantinya DPR dapat menggelar sidang pleno tersebut, Mahfud menjelaskan prosesnya masih panjang lagi di Mahkamah Konstitusi (MK). 


Setelah dari MK, lanjut dia, dikembalikan lagi ke DPR untuk kemudian diusulkan ke MPR.


Maka dari itu, Mahfud menyebut pemakzulan Gibran itu sangat tidak mungkin secara politik.


"Jadi secara hukum mungkin. Secara politik akan sangat tidak mungkin," ujar Mahfud.


Kendati demikian, Mahfud menilai tidak ada yang hitam putih dalam politik.


Dia lantas menyinggung peristiwa sejarah yang berkaitan dengan pemberhentian presiden sebelumnya, seperti Soekarno, Soeharto, hingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.


"Tapi, politik itu tidak hitam putih. Di dalam praktik, pemberhentian presiden itu tidak pernah ikut aturan, tidak pernah ikut konstitusi," ungkap Mahfud.


"Itu kan rekayasa konstitusional agar seolah-olah benar dan itu sebenarnya kuncinya adalah politik," ujarnya.


Kontributor : Rifqah

×
Berita Terbaru Update