Lumajang,R-Semeru.com – Menjelang perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, polemik penggunaan sound horeg dalam kegiatan karnaval kembali mencuat di berbagai daerah, tak terkecuali di Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Kepala Desa Bades, Sahid, S.AP, saat ditemui awak media di kantornya, Selasa (23/7/2025), menanggapi isu ini dengan hati-hati.
> “Saya selaku pejabat publik tentu harus bijak menyikapi masalah ini. Kami masih menunggu keputusan resmi dari Bupati dan Kapolres Lumajang terkait boleh tidaknya penggunaan sound horeg dalam karnaval,” ujar Sahid.
Menurutnya, sebanyak 53 kelompok dari berbagai RT dan RW sudah terdaftar sebagai peserta karnaval tahun ini. Menariknya, 40 grup di antaranya dipastikan akan menggunakan sound horeg dari luar kota, sebagai bagian dari aksi hiburan dan semarak Agustusan.
> “Karnaval ini sudah disiapkan warga sejak satu tahun lalu. Mereka menabung, iuran, bahkan ada yang menyewa sound jauh-jauh hari. Maka saya harus mencari solusi terbaik agar masyarakat tidak kecewa, tapi tetap menghormati aturan yang berlaku,” imbuh Sahid.
Sahid mengaku memahami keberatan sebagian kalangan, termasuk fatwa MUI Jawa Timur yang mengharamkan penggunaan sound horeg karena dianggap lebih banyak membawa kemudaratan. Namun, ia berharap jika diizinkan, pelaksanaannya tetap mengindahkan norma dan etika yang berlaku.
> “Kalau pun ada sound horeg, tolong perhatikan hal-hal berikut: pakaian harus sopan, volume tidak boleh melebihi 85 desibel, tidak boleh ada alkohol, dan hindari joget yang menimbulkan kegaduhan. Itu juga sejalan dengan fatwa MUI Jatim,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kapolsek Pasirian IPTU Loni Roi yang kebetulan berada di Kantor Desa Bades, turut menyampaikan tanggapannya. Ia menyatakan bahwa pihaknya juga masih menunggu arahan resmi dari Kapolres Lumajang.
> “Kami setuju dengan Pak Kades. Kalau pun nanti sound horeg diizinkan, harus ada batasan: suara maksimal 85 dB, tidak boleh ada tarian yang bersifat erotik, pakaian peserta harus sopan, dan jangan sampai suara sound mengganggu warga sepanjang rute—apalagi sampai merusak properti seperti kaca rumah atau genteng warga,” jelas IPTU Loni Roi.
Desa Bades sendiri dikenal sebagai wilayah yang religius. Hal ini membuat sebagian tokoh agama masih bersikap pro-kontra terhadap penggunaan sound horeg dalam acara rakyat. Fatwa MUI yang menyatakan haram, dikeluarkan berdasarkan pertimbangan dampak negatif yang lebih dominan ketimbang manfaatnya.
Sementara itu, salah satu warga yang enggan disebutkan namanya berharap pemerintah bisa mengambil langkah bijak.
> “Kami hanya ingin memeriahkan Hari Kemerdekaan. Mudah-mudahan segera ada keputusan yang bijak dan adil untuk semua pihak,” tuturnya.
Karnaval di Desa Bades dijadwalkan berlangsung dalam waktu dekat dan dipastikan menjadi salah satu yang paling meriah di wilayah Kecamatan Pasirian. Kini, masyarakat hanya tinggal menanti keputusan akhir dari pihak berwenang terkait nasib sound horeg yang sudah telanjur menjadi budaya populer dalam karnaval tahunan.
Reporter : bas & tim