-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mafia Sedotan Pasir Lumajang, Saat Hukum Dibungkam, Alam PAD Menjerit

Sunday, 27 July 2025 | 13:16 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-27T06:21:44Z

 

              Foto : Basuki Rakhmad, S.H.,M.H


Jakarta,R-Semeru.com -- LEGAL OPINION (PENDAPAT HUKUM), “KENAPA BPRD KABUPATEN LUMAJANG SELALU DIPERSALAHKAN DALAM CARUT-MARUTNYA PENDAPATAN PAJAK KEGIATAN PENAMBANGAN PASIR GALIAN C DI KABUPATEN LUMAJANG, ADAKAH MASTERMINDED DIBALIKNYA?”


I. PENDAHULUAN 

Permasalahan terkait penerimaan pajak dari sektor penambangan pasir galian C di Kabupaten Lumajang adalah potret buram pengelolaan sumber daya alam di tingkat daerah. Kabupaten Lumajang, yang dikenal sebagai salah satu penghasil pasir terbesar di Jawa Timur, seharusnya menjadi contoh sukses bagaimana kekayaan alam dikelola untuk kesejahteraan masyarakat melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, kenyataannya justru sebaliknya—sektor tambang pasir galian C menjadi ladang konflik kepentingan, kebocoran pendapatan, bahkan dugaan praktik mafia tambang yang beroperasi di balik layar.

Badan Pengelola Retribusi Daerah (BPRD) Kabupaten Lumajang kerap dijadikan sasaran kritik dan pihak yang disalahkan ketika realisasi PAD dari sektor tambang tidak sesuai potensi. Setiap kali angka penerimaan pajak sektor tambang pasir anjlok atau tidak mencapai target, jari telunjuk publik selalu mengarah pada BPRD. Tuduhan seperti lemahnya pengawasan, kolusi dengan pengusaha tambang, hingga pembiaran sering kali dilekatkan pada lembaga ini. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. BPRD hanyalah pelaksana teknis kebijakan pajak dan retribusi yang ruang lingkup kewenangannya terbatas pada wajib pajak resmi.

Fakta yang lebih mencengangkan adalah maraknya penambangan ilegal (illegal mining) di berbagai titik strategis Lumajang. Penambangan ilegal ini tidak hanya menggerus potensi pajak daerah, tetapi juga merusak lingkungan, mengabaikan keselamatan kerja, serta memunculkan dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum (APH) maupun pejabat lokal. Aktivitas penambangan tanpa izin ini seakan memiliki "payung pelindung" yang membuatnya tak tersentuh oleh hukum, padahal Pasal 158 UU Minerba telah dengan tegas menyebutkan bahwa penambangan tanpa izin adalah tindak pidana.

Di balik polemik ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah BPRD memang satu-satunya pihak yang harus disalahkan? Ataukah ada aktor intelektual (mastermind) yang dengan lihai mengatur skema permainan, memastikan tambang ilegal terus berjalan, sekaligus mengatur aliran dana dari "ladang emas hitam" ini untuk kepentingan tertentu?

Pendahuluan ini bertujuan membuka tabir tentang carut-marut sektor pajak galian C di Lumajang, dengan melihat tidak hanya aspek hukum, tetapi juga aspek ekonomi, politik, dan sosiologi. Di satu sisi, BPRD adalah wajah resmi pemerintah dalam pemungutan pajak; di sisi lain, ada jaringan tambang ilegal yang bekerja dalam “wilayah abu-abu” dengan dukungan oknum berpengaruh. Ketidakmampuan atau bahkan ketidakmauan pemerintah daerah dan APH untuk menindak tegas tambang ilegal ini menimbulkan kesan adanya pembiaran sistemik yang merugikan masyarakat luas.

Oleh karena itu, opini hukum ini disusun untuk menganalisis secara objektif mengapa BPRD kerap dipersalahkan, siapa saja pihak-pihak yang berpotensi menjadi mastermind, serta bagaimana penegakan hukum seharusnya dijalankan untuk menutup kebocoran PAD dari sektor tambang pasir galian C di Kabupaten Lumajang. 

Bahkan, fakta di lapangan menunjukkan adanya dugaan penambangan ilegal dengan skala besar menggunakan alat berat, yang seharusnya menjadi perhatian utama APH. Tidak hanya mencuri potensi pajak daerah, tetapi juga merusak tatanan lingkungan. Kerusakan bantaran sungai, longsor, dan banjir yang kerap melanda Lumajang sebagian besar disebabkan oleh tambang ilegal yang tidak terkendali. Namun, mengapa aktivitas ini tetap berjalan tanpa tindakan tegas? Apakah ada tangan-tangan kuat di balik layar yang melindungi mereka?”

Permasalahan pajak dari penambangan pasir galian C di Kabupaten Lumajang tidak hanya terkait tata kelola administrasi BPRD, tetapi juga menyangkut maraknya aktivitas penambangan ilegal (tanpa izin/illegal mining) yang terus berjalan tanpa tindakan tegas. Fenomena ini tidak hanya merugikan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga berdampak pada kerusakan lingkungan dan memunculkan dugaan keterlibatan pihak-pihak yang seharusnya menegakkan hukum.

Dalam konteks hukum, penambangan ilegal jelas melanggar:

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2020, di mana setiap kegiatan pertambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah tindak pidana.

Pasal 158 UU Minerba yang mengancam pidana bagi pelaku penambangan tanpa izin.

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang melarang kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan tanpa izin.

Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan APH dan Pemerintah Kabupaten Lumajang tidak melakukan tindakan tegas terhadap aktivitas ilegal ini. Situasi ini memperkuat persepsi publik bahwa ada "pihak tak terlihat" atau mastermind yang melindungi aktivitas ilegal tersebut.

Permasalahan BPRD dalam Konteks Penambangan Ilegal

BPRD hanya memiliki kewenangan menarik pajak dari penambang resmi yang terdaftar. Sementara itu, penambangan ilegal tidak memberikan kontribusi sepeser pun pada PAD, karena:

1. Tidak terdaftar dalam sistem pembayaran pajak.

2. Tidak mengeluarkan dokumen resmi seperti SKAB.

3. Diduga beroperasi di luar pengawasan resmi, bahkan menggunakan jalur distribusi yang tidak tercatat.

Dengan demikian, ketika pendapatan pajak sektor tambang turun atau tidak sesuai potensi riil, BPRD dijadikan kambing hitam, padahal sebagian besar kebocoran berasal dari penambangan ilegal yang tidak disentuh aparat.

Polemik mengenai penerimaan pajak daerah dari sektor penambangan pasir galian C di Kabupaten Lumajang telah lama menjadi isu sensitif. BPRD (Badan Pengelola Retribusi Daerah) kerap kali dijadikan pihak yang dipersalahkan ketika realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini tidak sesuai potensi. Namun, permasalahan sebenarnya jauh lebih kompleks, mencakup:

1. Maraknya penambangan ilegal (illegal mining) yang tidak membayar pajak.

2. Manipulasi dokumen SKAB (Surat Keterangan Asal Barang).

3. Dugaan keterlibatan aktor-aktor kuat (mastermind) yang melindungi jaringan tambang ilegal.

4. Pembiaran oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pemerintah Kabupaten, yang berakibat pada kebocoran pendapatan negara dan daerah.


II. DASAR HUKUM DAN KERANGKA REGULASI

1. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3):

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

2. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba (jo. UU No. 3 Tahun 2020).

1. Pasal 158: Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.

3. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memungut pajak daerah, termasuk pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB), yang mencakup pajak dari aktivitas galian C.

4. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang melarang kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan tanpa izin.

5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan tanggung jawab kepala daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk kewajiban mengawasi perangkat daerah seperti BPRD. 

6. Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lumajang mengenai Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, yang menjadi landasan operasional BPRD dalam menarik pajak dan mengawasi sektor ini.

8. Peraturan Bupati Lumajang terkait tata cara pemungutan pajak galian C, termasuk penggunaan Surat Keterangan Asal Barang (SKAB) sebagai dokumen sah untuk pengangkutan material tambang.

 Yurisprudensi yang Relevan

1. Putusan MA No. 1237 K/Pid.Sus/2017 – menegaskan bahwa kegiatan penambangan tanpa izin adalah tindak pidana khusus yang dapat diproses tanpa perlu adanya kerugian negara terlebih dahulu.

2. Putusan PTUN Jakarta No. 41/G/2020/PTUN.JKT – menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat menutup tambang ilegal demi menjaga PAD dan kelestarian lingkungan.


III. ANALISI HUKUM DAN FAKTA

1. BPRD Sebagai “Kambing Hitam” Sistemik

BPRD hanyalah pelaksana teknis dari kebijakan pemungutan pajak dan retribusi. Setiap kebijakan terkait tarif, mekanisme pungutan, maupun evaluasi PAD berasal dari regulasi dan arahan kepala daerah bersama DPRD. Ketika pendapatan dari sektor galian C tidak mencapai target, masyarakat cenderung menyalahkan BPRD karena berada di garda terdepan dalam pemungutan. Padahal, potensi kebocoran dapat terjadi di berbagai titik, misalnya:

Manipulasi SKAB yang diduga sering digunakan untuk memuluskan transaksi tanpa membayar pajak resmi.

Adanya pungutan liar (pungli) di jalur distribusi pasir oleh pihak yang tidak berwenang, yang justru tidak tercatat sebagai pendapatan daerah.

Pengawasan lemah di lapangan karena keterbatasan personel BPRD, yang tidak sebanding dengan luasnya wilayah pertambangan.

2. Dugaan Adanya Mastermind

Permasalahan yang berlangsung bertahun-tahun menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang diuntungkan?

Ada indikasi keterlibatan aktor-aktor kuat di luar BPRD, seperti jaringan pengusaha tambang, oknum aparat, dan pihak-pihak dengan kepentingan politik yang memungkinkan praktik kolusi dan pembiaran.

Sistem SKAB yang seharusnya ketat, diduga sering “dimainkan” oleh pihak tertentu dengan memanfaatkan kelemahan sistem pencatatan manual.

Korupsi terstruktur bisa saja terjadi dalam bentuk pembiaran atau perlindungan terhadap penambang nakal yang tidak membayar pajak sesuai ketentuan.

3. Perspektif Tata Kelola dan Good Governance

Jika dikaji dari prinsip good governance (transparansi, akuntabilitas, partisipasi), lemahnya pengawasan lintas instansi (BPRD, Satpol PP, Kepolisian, Dinas Perhubungan) membuka celah praktik kecurangan. Dalam kondisi demikian, BPRD seakan dijadikan “pihak yang terlihat” sehingga menjadi sasaran kritik publik, padahal kebijakan dan pengawasan sistemik seharusnya melibatkan koordinasi lintas sektor.

4, Penambangan Ilegal Sebagai Penyebab Kebocoran PAD

1. Penambangan ilegal di Lumajang sudah menjadi isu bertahun-tahun, dengan modus:

2. Menggunakan alat berat dan mesin sedot pasir tanpa izin resmi.

3. Tidak membayar pajak dan retribusi daerah.

4. Menggunakan jalur transportasi “gelap” dengan membayar pungutan kepada oknum di lapangan, bukan ke kas daerah.

5. Tidak Ada Penindakan APH

1. Ketidakadaan penindakan tegas dari APH (Polres, Satpol PP, dan instansi terkait) menimbulkan dugaan pembiaran sistemik, bahkan perlindungan terhadap penambang ilegal demi kepentingan tertentu. Hal ini bertentangan dengan asas equality before the law dan kewajiban APH dalam penegakan hukum.

2. Dugaan Keterlibatan Mastermind

3. Fenomena ini mengindikasikan adanya pihak-pihak yang mengatur arus uang dari sektor tambang ilegal, termasuk dugaan:

4. Oknum aparat keamanan yang memberi "perlindungan".

5. Jaringan pengusaha tambang ilegal yang membayar “fee keamanan” agar operasi mereka tidak diganggu.

6. Adanya kepentingan politik lokal, di mana sektor tambang dijadikan sumber pembiayaan politik praktis.


III. ANALISA PERMASALAHAN

A. Posisi BPRD

BPRD bertugas memungut pajak dari penambang resmi. Namun, BPRD tidak memiliki kewenangan hukum untuk menindak penambangan ilegal atau memproses pidana pelanggaran tambang. Kewenangan itu ada pada APH (Polres, Polda, Kejaksaan) dan instansi teknis seperti Dinas ESDM.

B. Penambangan Ilegal dan Kebocoran PAD

1. Penambangan ilegal di Lumajang diduga mencapai ratusan armada per hari, dengan potensi kebocoran PAD miliaran rupiah per bulan. Modus yang kerap ditemukan:

2. Penggunaan alat berat tanpa izin.

3. Tidak adanya dokumen SKAB resmi.

4. Pungutan liar di jalan-jalan akses tambang oleh oknum aparat.

C. Tidak Ada Penindakan APH dan Pemkab

Fakta menunjukkan, APH jarang melakukan penindakan hukum terhadap penambangan ilegal di Lumajang.

Ada dugaan adanya “permainan” dan perlindungan dari oknum pejabat maupun aparat keamanan.

Hal ini merusak asas keadilan karena penambang resmi dibebani pajak, sementara penambang ilegal bebas beroperasi.

D. Dugaan Mastermind

Fenomena pembiaran ini memperkuat dugaan adanya mastermind (aktor intelektual) yang mengatur arus keuntungan dari sektor tambang ilegal. Polanya mirip dengan beberapa kasus di daerah lain, seperti:

Kasus penambangan pasir ilegal di Sleman (2019), di mana aparat menindak jaringan yang dilindungi oknum pengusaha dan pejabat.

Kasus Banyumas (2020), di mana bupati secara tegas menutup tambang ilegal setelah audit BPK menemukan kebocoran PAD.

Tanggung Jawab Pemerintah Kabupaten

Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, sumber daya alam dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penuh atas pengawasan dan pemanfaatan sumber daya alam di wilayahnya. Ketika penambangan ilegal dibiarkan, ini menunjukkan lemahnya:

Sistem pengawasan tambang (inspeksi mendadak, monitoring izin, dsb).

Koordinasi lintas instansi (BPRD, Dinas ESDM, Satpol PP, dan Kepolisian).

Integritas pejabat publik, karena pembiaran bisa jadi disebabkan oleh kepentingan ekonomi-politik.


E. Penambangan Ilegal dengan Alat Berat

Fenomena penambangan ilegal yang menggunakan alat berat (excavator dan loader) di Kabupaten Lumajang telah mencapai skala industri. Aktivitas ini tidak hanya merugikan PAD, tetapi juga merusak ekosistem sungai, sawah, dan infrastruktur jalan di sekitar area tambang. Modus yang digunakan antara lain:

1. Operasi Malam Hari atau Dini Hari: Penambang ilegal dengan alat berat kerap beroperasi saat pengawasan lemah, terutama di malam hari atau hari libur, sehingga sulit terdeteksi.

2. Jalur Transportasi Gelap: Material pasir yang diambil diangkut tanpa dokumen SKAB, seringkali menggunakan jalan alternatif untuk menghindari pos pajak resmi.

3. Pungutan Liar dan “Uang Keamanan”: Banyak laporan bahwa para penambang ilegal membayar “fee” kepada oknum aparat atau pihak tertentu agar aktivitas mereka tidak diganggu.

4. Penggunaan Alat Berat Tanpa Izin Lingkungan: Tidak ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau izin teknis, sehingga kegiatan ini berpotensi menyebabkan bencana banjir dan kerusakan lahan pertanian di hilir.

Menurut Pasal 158 UU Minerba, penggunaan alat berat untuk kegiatan penambangan tanpa izin termasuk tindak pidana berat, dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun. Namun, di lapangan, tidak ada penindakan tegas dari APH dan Pemerintah Kabupaten, yang semakin memperkuat dugaan adanya aktor intelektual (mastermind) yang mengendalikan praktik tambang ilegal ini.


F. ASPEK EKONOMI DAN POLITIK

Sektor tambang pasir Lumajang merupakan “ladang basah” dengan perputaran uang miliaran rupiah per bulan. Situasi ini seringkali melahirkan “ekonomi rente” di mana pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan tanpa mekanisme resmi. Tekanan politik terhadap BPRD sering kali membuat lembaga ini tidak berdaya melakukan penindakan tegas, terlebih bila yang terlibat adalah jaringan bisnis-politik yang memiliki “kekuatan tak terlihat” (invisible hand).


IV. PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)

1. BPRD tidak dapat dimintai tanggung jawab tunggal atas kebocoran pendapatan pajak galian C karena BPRD hanyalah pelaksana kebijakan. Penanggung jawab utama tetap ada pada kepala daerah selaku penentu kebijakan dan pengendali PAD.

2. Adanya indikasi aktor intelektual (mastermind) di balik lemahnya pengawasan sektor tambang tidak bisa diabaikan. Penyelesaian masalah ini membutuhkan investigasi lintas sektor, termasuk peran Inspektorat, Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK jika ada bukti korupsi.

3. Perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap sistem SKAB, karena dokumen ini sering menjadi pintu masuk manipulasi data pengangkutan pasir yang merugikan daerah.

4. Pemerintah daerah harus memperkuat sistem digitalisasi pajak galian C agar transparan dan menghilangkan celah pungli.

5. DPRD selaku pengawas anggaran harus proaktif mengungkap adanya dugaan permainan rente di balik sektor ini.

6. BPRD tidak dapat dimintai pertanggungjawaban tunggal karena penambangan ilegal bukan kewenangan BPRD untuk menindak. Tugas BPRD hanya menarik pajak dari penambang resmi.

7. APH dan Pemerintah Kabupaten Lumajang patut dimintai pertanggungjawaban atas tidak adanya tindakan hukum terhadap penambangan ilegal. Pasal 165 UU Minerba jelas memberikan kewenangan penindakan pada aparat.

8. Ada indikasi kuat adanya mastermind di balik pembiaran penambangan ilegal. Hal ini bisa diungkap dengan melibatkan KPK, BPK, atau BPKP melalui audit investigasi pada sektor pajak tambang.

9. Diperlukan revisi sistem pengawasan berbasis digital untuk memastikan setiap muatan pasir terdata dan terverifikasi secara elektronik, sehingga praktik SKAB palsu atau non-SKAB dapat diminimalisir.

10. BPRD bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas minimnya pendapatan pajak tambang.

11. APH dan Pemerintah Kabupaten Lumajang patut dimintai pertanggungjawaban atas tidak adanya penindakan terhadap penambangan ilegal, yang jelas melanggar UU Minerba.

12. Audit investigasi oleh BPK atau BPKP harus dilakukan untuk menelusuri potensi korupsi, manipulasi SKAB, dan pungutan liar.

13. Dugaan adanya mastermind perlu diusut oleh lembaga independen seperti KPK karena kasus ini berpotensi termasuk dalam tindak pidana korupsi (Pasal 3 dan 12 UU Tipikor).

14. Digitalisasi pajak galian C (e-SKAB, GPS tracking, pembayaran non-tunai) harus segera diterapkan.


V. KESIMPULAN

Menyalahkan BPRD secara sepihak adalah keliru karena permasalahan sektor pajak galian C bersifat sistemik, melibatkan banyak pihak, dan memiliki dimensi ekonomi-politik yang kompleks.

Ada indikasi kuat bahwa masalah ini tidak berdiri sendiri, melainkan ada mastermind yang mengatur aliran keuntungan dari sektor tambang.

Solusi hukum yang efektif harus melibatkan penguatan regulasi, penegakan hukum terhadap oknum aparat maupun pengusaha nakal, serta sistem digital yang mengurangi interaksi langsung (face-to-face) antara petugas BPRD dengan pelaku usaha.

Menyalahkan BPRD secara tunggal adalah tidak adil.

Kebocoran pajak tambang sebagian besar berasal dari penambangan ilegal yang dibiarkan berjalan.

Pemerintah daerah bersama APH wajib bertanggung jawab dan melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Mastermind di balik jaringan tambang ilegal harus dibongkar dengan audit investigasi dan penindakan hukum terpadu.

Carut-marut pajak tambang di Lumajang bukan sekadar kesalahan BPRD. Ada jaringan tambang ilegal, pembiaran aparat, dan dugaan aktor intelektual (mastermind) yang harus diungkap. Tanpa penegakan hukum, Lumajang akan terus mengalami kebocoran PAD dan kerusakan lingkungan.

VI. REKOMENDASI DAN ADVOKASI HUKUM

1. Mendorong DPRD Lumajang membentuk Panitia Khusus (Pansus) pengawasan pajak galian C.

2. Mengajukan laporan resmi ke KPK dan Mabes Polri terkait dugaan mafia tambang.

3. Mendorong Pemkab untuk membentuk Satgas Penambangan Ilegal yang terintegrasi dengan APH.

4. Menggugat secara hukum (class action) jika terbukti pembiaran menyebabkan kerugian PAD.

5. Merevisi Perda Pajak Galian C untuk memperkuat sanksi administratif dan digitalisasi.


VII. PENUTUP

Opini hukum ini disusun sebagai pandangan kritis terhadap carut-marut pengelolaan pajak tambang pasir di Kabupaten Lumajang. Langkah penyelamatan pendapatan daerah tidak hanya menuntut perbaikan di BPRD, tetapi juga keberanian politik dan hukum untuk membongkar jaringan kepentingan yang selama ini membajak potensi PAD.

Carut-marut sektor tambang pasir di Lumajang adalah masalah sistemik yang melibatkan kombinasi lemahnya regulasi, pembiaran aparat, dan kekuatan ekonomi-politik. Tanpa langkah hukum tegas, Lumajang hanya akan menjadi ladang korupsi dan kebocoran PAD yang terus merugikan rakyat.

Opini hukum ini diharapkan menjadi bahan analisis mendalam bagi Pemkab Lumajang, DPRD, APH, dan masyarakat untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan tindakan hukum tegas terhadap penambangan ilegal.

Fenomena kebocoran pendapatan pajak dari sektor penambangan pasir galian C di Kabupaten Lumajang adalah cerminan dari lemahnya tata kelola sumber daya alam, yang bukan hanya soal ketidakmampuan BPRD dalam melakukan pemungutan pajak, tetapi juga hasil dari persoalan struktural yang lebih dalam. Menyalahkan BPRD secara sepihak sama saja dengan menutup mata terhadap akar masalah yang sebenarnya: penambangan ilegal, manipulasi SKAB, lemahnya pengawasan APH, serta dugaan praktik mafia tambang yang dilindungi kepentingan politik dan ekonomi.

BPRD hanya menjadi wajah yang terlihat, sementara aktor-aktor di balik layar justru bergerak dalam sunyi, mengendalikan rantai distribusi tambang ilegal, dan mengambil keuntungan tanpa menyumbang sepeser pun ke kas daerah. 

Sikap diam atau lambannya tindakan hukum dari APH dan Pemerintah Kabupaten hanya mempertegas dugaan bahwa sektor tambang telah menjadi arena permainan ekonomi rente, di mana hukum tunduk pada kekuasaan uang.

Ke depan, penyelamatan PAD dan sektor pertambangan Lumajang tidak dapat dilakukan dengan solusi parsial. Dibutuhkan:

1. Transparansi dan digitalisasi penuh dalam sistem pajak tambang (e-SKAB, GPS tracking, dan pembatasan manual control).

2. Penegakan hukum yang berani dan independen, tanpa tebang pilih, termasuk menindak oknum pejabat dan aparat yang terlibat.

3. Audit investigasi mendalam oleh lembaga independen (BPK, BPKP, bahkan KPK) untuk mengungkap siapa mastermind di balik penambangan ilegal yang dibiarkan beroperasi.

4. Partisipasi aktif masyarakat dan media, karena kontrol sosial adalah kunci dalam membongkar praktik mafia tambang.

Jika pemerintah daerah bersama DPRD tidak segera mengambil langkah tegas, Lumajang hanya akan menjadi "ladang emas" bagi segelintir orang, sementara rakyat hanya menerima kerusakan lingkungan dan jalanan yang hancur akibat aktivitas tambang.

Opini hukum ini mengajak semua pihak, terutama aparat penegak hukum, untuk tidak hanya menyalahkan BPRD, tetapi juga mengejar aktor-aktor besar di balik tambang ilegal. Keadilan hanya bisa ditegakkan ketika hukum berjalan tanpa kompromi, ketika semua pihak yang diuntungkan dari tambang ilegal dimintai pertanggungjawaban.

Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat Lumajang harus menjadi prioritas utama. Pajak dari tambang pasir seharusnya menjadi sumber pembangunan, bukan sumber kebocoran dan konflik kepentingan. Saatnya membalik narasi: bukan lagi mencari kambing hitam, tetapi mencari solusi dan keberanian politik untuk menegakkan hukum di tanah Lumajang.

“Jika praktik penambangan ilegal dengan alat berat ini terus dibiarkan, Lumajang akan menghadapi kerugian jangka panjang: potensi pajak hilang, lingkungan rusak, dan masyarakat menjadi korban banjir serta jalan rusak akibat lalu lintas armada tambang. BPRD bukanlah penentu utama dalam persoalan ini. Penegakan hukum harus diarahkan pada jaringan penambang ilegal dan pihak-pihak yang melindungi mereka. Tanpa tindakan tegas, maka sekuat apa pun BPRD bekerja, kebocoran PAD akan tetap terjadi.

Inilah saatnya Pemerintah Kabupaten Lumajang, DPRD, dan APH untuk bertindak, membongkar mafia tambang ilegal yang beroperasi dengan alat berat, serta menutup celah hukum yang membuat Lumajang kehilangan haknya," tungkas Basuki, Sabtu, 26 Juli 2025.


Penulis : Basuki Rakhmad, alamat Dusun Kalibendo Utara, RT.08, RW.03, Desa Kalibendo, Kec.Pasirian, Lumajang, Jatim, Hp.081249990111

×
Berita Terbaru Update