-->
×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Istilah Penonaktifan anggota DPR Sesungguhnya tidak Dikenal dalam Hukum Positif

Wednesday, 3 September 2025 | 21:16 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-03T14:16:56Z

 


Jember,R-Semeru.com -- Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, istilah penonaktifan anggota DPR sesungguhnya tidak dikenal dalam hukum positif, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) beserta perubahannya. Terminologi “nonaktif” hanya muncul secara terbatas dalam Pasal 144 ayat (2) UU MD3, dan itu pun hanya berlaku untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan untuk keanggotaan DPR secara keseluruhan. Dengan demikian, ketika partai politik menggunakan istilah “penonaktifan”, hal itu lebih bersifat politik internal dan bukan kategori hukum formal yang mengubah status keanggotaan DPR.


Secara formal, satu-satunya mekanisme yang diatur dalam UU MD3 untuk mengakhiri atau menghentikan status anggota DPR adalah melalui Pemberhentian Antar Waktu (PAW). Berdasarkan Pasal 239 UU MD3, anggota DPR dapat diberhentikan antarwaktu karena tiga alasan pokok, yaitu: (1) meninggal dunia, (2) mengundurkan diri, atau (3) diberhentikan oleh partai politik yang mengusungnya. Pasal tersebut diperluas dengan ayat (2) yang menambahkan alasan lain, seperti tidak melaksanakan tugas tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan, melanggar sumpah jabatan, terbukti bersalah dengan ancaman hukuman minimal lima tahun, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, melanggar larangan tertentu, atau beralih keanggotaan partai politik lain. Mekanisme PAW sendiri diatur secara rinci dalam Pasal 240 UU MD3, yakni usulan diajukan oleh pimpinan partai politik kepada Pimpinan DPR, kemudian diteruskan kepada Presiden, dan Presiden meresmikan pemberhentian serta pengganti antarwaktu dalam jangka waktu tertentu.


Selain pemberhentian tetap melalui PAW, UU MD3 juga mengenal pemberhentian sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 244. Pemberhentian sementara berlaku apabila seorang anggota DPR berstatus terdakwa dalam perkara pidana yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Namun, sifat pemberhentian sementara ini bersifat kondisional: apabila kemudian terbukti tidak bersalah, anggota DPR yang bersangkutan dapat diaktifkan kembali untuk melanjutkan jabatannya. Dengan kata lain, pemberhentian sementara adalah mekanisme formal yang diakui hukum, berbeda dengan istilah “penonaktifan” yang tidak dikenal dalam UU.


Dari sisi politik, istilah “penonaktifan” sering digunakan partai politik sebagai langkah disipliner internal untuk memberi sinyal kepada publik bahwa mereka mengambil tindakan terhadap anggotanya. Namun secara hukum, langkah ini tidak otomatis mengubah status anggota DPR, sebab hak, kedudukan, serta fasilitas kedewanan tetap berjalan hingga ada keputusan resmi pemberhentian melalui mekanisme PAW. Hal ini sejalan dengan preseden sejumlah kasus, misalnya pemberhentian Fandi Utomo oleh Partai Demokrat atau kasus anggota Gerindra yang kemudian digantikan oleh Mulan Jameela. Dalam kasus-kasus itu, meskipun partai politik mengumumkan “nonaktif”, status hukum tetap menunggu proses PAW yang bersifat administratif dan formal.


Dari perspektif hukum tata negara, jelas bahwa kewenangan partai politik hanyalah mencabut atau memberhentikan keanggotaan seseorang dari organisasi partai. Namun untuk mengakhiri statusnya sebagai anggota DPR, mekanismenya harus tunduk pada UU MD3 dengan proses PAW. Sementara itu, jika pelanggaran yang dilakukan anggota DPR berkaitan dengan kode etik dan perilaku dalam menjalankan tugas kedewanan, mekanisme yang berwenang adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bukan parpol.


Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa istilah penonaktifan hanyalah konstruksi politik dan tidak memiliki landasan hukum formal dalam UU MD3. Status resmi anggota DPR hanya dapat berubah melalui PAW atau pemberhentian sementara yang mekanismenya jelas diatur undang-undang. Oleh karena itu, publik harus membedakan antara langkah politik internal parpol dan mekanisme hukum formal negara.


Oleh : Basuki Kurniawan, S.Hi., M.H

×
Berita Terbaru Update