-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Detik-Detik Wafatnya Sayyidina Ali, Sang Singa Allah

Tuesday, 7 October 2025 | 14:27 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-07T07:27:16Z

 


Lumajang,R_SEMERU.COM - Fajar baru saja menyingsing di Kufah. Suara adzan Subuh bergema merdu, memanggil kaum muslimin menuju masjid. Pagi itu, suasana tampak hening dan teduh, seakan bumi tengah bersiap menyaksikan peristiwa besar yang akan menggoreskan sejarah untuk selamanya.


Sayyidina Ali karamallahu wajhah, pemimpin kaum muslimin, menantu Rasulullah ﷺ, dan pintu ilmu pengetahuan, melangkah menuju masjid. Wajahnya tenang, meskipun di balik itu beliau menyadari bahwa ajalnya semakin dekat. Rasulullah ﷺ telah mengabarkan sebelumnya bahwa Ali akan wafat dengan cara yang menggetarkan: darahnya akan membasahi janggutnya sendiri pada bulan Ramadan.


Di tengah barisan orang-orang beriman yang telah berdiri siap menunaikan shalat, seorang lelaki bernama Abdurrahman bin Muljam, salah seorang Khawarij yang dipenuhi dendam, bersembunyi dengan pedang beracun yang telah diasah. Ia menanti detik kelalaian, detik saat Imam Ali sujud khusyuk menghadap Tuhannya.


Saat itulah, pedang pengkhianatan itu terayun dengan cepat, menebas bagian kepala Imam Ali. Seketika darah suci memancar deras, mengalir hingga membasahi wajah dan janggut beliau. Namun, bukan keluhan yang terucap dari lisan Sayyidina Ali. Dengan suara penuh ketenangan, beliau justru berucap:


“Bismillah, wa billah, wa ‘ala millati rasulillah.”

(Dengan nama Allah, demi Allah, dan di atas agama Rasulullah).


Langit seakan berguncang, Orang-orang berhamburan keluar rumah, berlari menuju masjid dengan air mata bercucuran. Kaum muslimin terhuyung-huyung, seakan tak percaya pemimpin agung mereka tengah terbaring bersimbah darah.


Putra beliau, Hasan bin Ali, adalah orang pertama yang mendekat. Dengan hati remuk redam, ia memeluk kepala ayahnya yang berlumuran darah. Air matanya jatuh bercucuran membasahi wajah sang ayah. Sambil terus membersihkan darah yang mengalir, Hasan berucap lirih:

"Wahai ayahku… aku tidak kuasa melihatmu dalam keadaan ini. Hatiku hancur, jiwaku lebur melihat darahmu mengalir tanpa henti."


Meski luka begitu perih dan racun dari pedang itu perlahan menyebar ke seluruh tubuhnya, Sayyidina Ali tetap berusaha menyempurnakan shalatnya. Dengan penuh khusyu'. beliau mengusap tanah dan meletakkannya di dahinya, sembari berucap:

"Dari tanah Kami ciptakan kalian, ke tanah pula Kami akan kembalikan kalian, dan darinya Kami akan membangkitkan kalian kembali."


dengan suara yang masih tegar meski tubuhnya menggigil menahan sakit, Sayyidina Ali menatap putranya penuh kasih dan berucap:

"Jangan bersedih wahai Hasan. Setelah ini, ayahmu tidak akan lagi merasakan pahitnya dunia. Nenekmu Khadijah, ibumu Fatimah, dan para bidadari telah bersiap menyambut kedatangan ayahmu. Tegar dan kuatlah engkau, karena engkaulah penerus perjuangan ini."


Air mata Hasan tak terbendung. Ia terus memeluk ayahnya, sembari membersihkan darah yang mengalir deras. Di sampingnya, Husain pun menangis tersedu, hatinya tercabik-cabik menyaksikan kesyahidan sang ayah.


Dua hari penuh beliau berbaring, menahan sakit yang luar biasa akibat racun yang telah meresap hingga ke otak. Namun wajahnya tetap bercahaya, penuh ketenangan, seakan tubuhnya sudah tak lagi terbebani dunia.


Akhirnya, di hari ke-21 Ramadan, saat malam sunyi menaungi bumi, Sayyidina Ali karamallahu wajhah menghembuskan napas terakhirnya. Wajahnya berseri, seolah tidur dalam damai, meninggalkan dunia fana menuju pangkuan Sang Kekasih, Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Para sahabat segera menangkap Ibnu Muljam. Ia tidak melawan, wajahnya tetap dingin, bahkan ia berkata:

“Aku telah menegakkan keadilan bagi Allah terhadap musuh-Nya.”

Ucapan itu menunjukkan betapa fanatik dan sesatnya pemahamannya. Kaum Khawarij pada waktu itu menganggap Imam ‘Ali telah menyimpang karena menerima tahkim (arbitrase) dalam perang Shiffin, dan mereka berkeyakinan bahwa membunuhnya adalah ibadah.


Ibnu Muljam kemudian dibawa ke hadapan Imam ‘Ali yang masih hidup beberapa hari dalam keadaan luka parah. Ketika melihatnya, Imam ‘Ali tidak menunjukkan amarah, malah berkata dengan suara lemah:

“Berilah dia makanan dan minuman yang sama seperti yang kalian makan dan minum. Jika aku wafat, maka hukumlah dia sesuai dengan hukum qisas. Tapi jika aku hidup, aku berhak memaafkan atau membalasnya.”


Ucapan itu mencerminkan keluhuran akhlak dan keadilan Imam ‘Ali. Beliau tidak ingin pembunuhnya disiksa di luar batas syariat.


Beberapa hari kemudian, luka Imam ‘Ali semakin parah hingga akhirnya beliau wafat pada tanggal 21 Ramadan 40 H di usia 63 tahun. Setelah kepergian beliau, masyarakat Kufah menegakkan qisas terhadap Ibnu Muljam. Ia dieksekusi dengan pedang, sebagaimana hukum bagi seorang pembunuh yang terbukti bersalah.


Umat Islam berduka. Langit seakan menangis, bumi pun bergetar menyaksikan wafatnya seorang tokoh besar yang sepanjang hidupnya berjuang dengan pedang, ilmu, dan iman. Seorang pejuang yang tidak hanya singa di medan perang, tetapi juga lautan ilmu dan kebijaksanaan.


Dengan wafatnya Sayyidina Ali, umat Islam kehilangan satu lagi cahaya besar. Namun, warisan beliau tetap abadi: keberanian, kecerdasan, dan cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya.


Sumber : red/boni

×
Berita Terbaru Update