Jakarta,R_SEMERU.COM - Indonesia belum memiliki satelit pertahanan militer yang operasional secara khusus. Saat ini, militer Indonesia (TNI) masih bergantung pada satelit komunikasi sipil seperti Nusantara Satu (diluncurkan 2019) dan SATRIA-1 (diluncurkan 2023), yang sebagian kapasitasnya digunakan untuk keperluan pertahanan, seperti komunikasi darurat dan pemantauan wilayah. Namun, ini bukan satelit dedicated militer yang dirancang untuk fungsi seperti pengintaian, navigasi militer, atau pertahanan siber secara eksklusif.
Baru-baru ini, pada Juni 2025, Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) berhasil meluncurkan RIDU-Sat 1, sebuah satelit nano (ukuran 10x10x11,3 cm) yang dibangun oleh kadet Unhan. Satelit ini lebih bersifat edukatif dan riset, dengan fungsi utama komunikasi darurat (via Automatic Packet Reporting System/APRS) untuk bencana alam, termasuk di wilayah terpencil. Meski dikaitkan dengan program pertahanan oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan), RIDU-Sat 1 bukan satelit pertahanan militer penuh, melainkan langkah awal menuju kemandirian teknologi antariksa.
- Sejarah dan Tantangan -
Rencana satelit pertahanan Indonesia telah dibahas sejak 2015-2019 dengan nama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan), yang direncanakan diluncurkan sekitar 2019 dengan anggaran hingga US$500 juta (dibangun oleh Airbus Defence and Space). Proyek ini gagal karena masalah pembayaran dan kontrak, sehingga dibatalkan.
Pada 2022, Kemhan mengusulkan lagi dengan alokasi US$300 juta dari pinjaman luar negeri, tapi hingga kini belum terealisasi.
Tantangan utamanya Biaya yang sangat tinggi Sekitar Rp10 triliun per satelit, termasuk peluncuran dan asuransi.
Sementara untuk Teknologi dan SDM Indonesia masih bergantung pada mitra asing (seperti SpaceX untuk peluncuran).
Dan untuk saat ini Prioritas anggaran Fokus pada alutsista konvensional seperti kapal selam dan pesawat tempur.
- Proyeksi Masa Depan -
Belum ada jadwal pasti untuk peluncuran satelit pertahanan militer dedicated. Namun, ada kemajuan diantaranya, pada 2025-2027 Program RIDU-Sat di Unhan direncanakan dilanjutkan dengan misi lanjutan untuk komunikasi militer dan pemantauan maritim.
Ini bisa menjadi prototipe satelit pertahanan skala kecil.
Kemudian 2027 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merencanakan peluncuran 20 nanosatelit untuk pemantauan maritim (termasuk deteksi kapal ilegal), dengan satelit pertama Juli 2024 dan diperkirakan selesai 2027. Beberapa di antaranya bisa diadaptasi untuk pertahanan (misalnya, tracking kapal militer).
Dalam Rencana jangka panjang Kemhan dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) menargetkan ekosistem satelit nasional pada 2030, termasuk satelit militer untuk navigasi dan pertahanan siber.
Ada juga wacana bangun pusat peluncuran di Biak, Papua (dibahas sejak 2025), yang bisa mempercepat proyek ini.
Dalam konteks geopolitik, Indonesia tertinggal dibanding negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang sudah punya satelit militer sejak 2010-an. Pemerintah Prabowo Subianto menekankan kemandirian pertahanan, tapi realisasi tergantung anggaran RAPBN 2026 dan kerjasama internasional (misalnya dengan Rusia atau AS).
Jika tidak ada percepatan, satelit pertahanan dedicated kemungkinan baru operasional sekitar 2028-2030.
src : berbagai sumber
foto ilustrasi : sciencephoto.com
by : Oblivion Cylone War