Lumajang,R-Semeru.com -- Suara gamelan menggema lembut dari pelataran Pura Mandara Giri Semeru Agung (MGSA) di Desa Senduro, Lumajang. Kamis pagi itu (10/7/2025), embun belum sepenuhnya sirna ketika ribuan umat Hindu dari Jawa dan Bali mulai memadati kawasan pura. Mereka datang bukan hanya untuk bersembahyang, tetapi juga untuk menyatukan rasa, harap, dan doa dalam ritual sakral Puja Wali Krama Satunggil Warsa dan Tawur Manca Kelud.
Di antara wangi dupa dan bunga persembahan, suasana terasa khidmat. Lelaki dan perempuan bersarung rapi, kepala terbalut udeng dan selendang, melangkah tertib menuju area suci. Anak-anak pun diajak serta, memperlihatkan bahwa tradisi ini bukan hanya milik generasi tua, tapi warisan yang terus dijaga lintas usia.
Upacara Puja Wali Krama bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah persembahan besar dalam sistem kepercayaan Hindu untuk memohon keharmonisan alam semesta. Di bawah bayang-bayang Gunung Semeru yang megah, umat Hindu memusatkan hati, menyatukan alam makro dan mikro dalam harmoni yang penuh kesadaran.
Pura MGSA menjadi saksi bisu dari ritual yang tak hanya menggetarkan batin, tetapi juga menyatukan lintas batas geografis dan kultural. Lumajang, yang berada di Tanah Jawa, menjelma menjadi rumah spiritual bagi umat Hindu dari Pulau Dewata dan sekitarnya. Bukan sebuah ironi, tapi potret utuh dari semangat Bhinneka Tunggal Ika yang terus hidup.
Bupati Lumajang, Indah Amperawati (Bunda Indah) bersama Wakil Bupati Yuda Adji Kusuma (Mas Yudha) hadir langsung menyaksikan prosesi ini. Dalam sambutannya, Bupati menegaskan bahwa keberadaan Pura MGSA adalah harta spiritual yang memperkaya identitas Lumajang sebagai rumah bersama yang menjunjung tinggi toleransi.
“Pura ini bukan hanya milik umat Hindu, tapi milik kita semua. Tempat ini mengajarkan tentang damai, ketulusan, dan keseimbangan. Kami akan terus menjaga agar keberagaman di Lumajang menjadi sumber kekuatan, bukan perbedaan yang memecah,” tutur Indah dengan suara yang tenang namun menggetarkan ruang.
Hadir pula tokoh penting dari Bali, seperti mantan Wakil Gubernur Bali dan Ka Kwarda Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati atau Cok Ace, serta Bupati Karangasem I Gusti Putu Pawarta. Mereka datang bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai keluarga spiritual yang mengakui peran Lumajang dalam menjaga warisan leluhur.
“Pura MGSA sebagai simbol pemersatu umat Hindu lintas pulau. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana masyarakat Lumajang menjaga pura ini dengan cinta dan kesetiaan. Ini bukan hanya pusat ibadah, tapi pusat kebudayaan yang hidup dan menyala,” ujar Cok Ace.
Rangkaian prosesi dipimpin oleh para sulinggih (pendeta Hindu) dan pemangku adat yang dengan sabar dan teliti melafalkan mantra-mantra suci. Diiringi bunyi genta, mereka memohon keselamatan untuk bumi, untuk manusia, dan untuk masa depan. Tawur Manca Kelud menjadi titik klimaks, simbolisasi harmoni antara unsur-unsur alam dan manusia.
Di tengah kerumunan, terlihat wajah-wajah penuh harap. Seorang ibu asal Banyuwangi membawa serta dua anaknya, mengenalkan mereka pada akar spiritual keluarga. “Saya ingin anak-anak tumbuh dengan nilai-nilai luhur. Dari sini mereka belajar tentang kebersamaan, tentang alam, dan tentang bagaimana menjadi manusia yang berterima kasih,” ucapnya lirih.
Anak-anak kecil tampak mengikuti prosesi dengan rasa penasaran. Sesekali mereka tersenyum ketika bunga melati beterbangan tertiup angin. Mereka adalah benih-benih generasi yang suatu hari akan memimpin, dengan akar yang tertanam kuat pada budaya dan spiritualitas.
Pura MGSA bukanlah tempat yang lahir begitu saja. Pendirian pura ini pada era 1990-an adalah hasil kerja keras dan mimpi panjang umat Hindu Lumajang untuk memiliki tempat pemujaan agung yang terkoneksi langsung dengan spiritualitas Gunung Semeru, yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa yang dipercaya sebagai Mahameru, pusat kosmis dalam keyakinan Hindu.
Bagi Lumajang, keberadaan pura ini bukan hanya soal religiositas, melainkan juga instrumen diplomasi budaya. Pura MGSA telah menjadi titik temu antara pemerintah dan komunitas Hindu, antara Jawa dan Bali, antara masa lalu dan masa depan yang berakar kuat pada nilai-nilai toleransi dan pluralisme.
Prosesi ritual ini juga membawa dampak sosial dan ekonomi. Hotel-hotel lokal, warung, dan pelaku UMKM merasakan denyut manfaat dari kehadiran ribuan peziarah. Ekonomi tumbuh tanpa kehilangan jati diri, karena spiritualitas yang hadir bukan untuk dikomersialisasi, tetapi dirawat bersama.
Lebih dari sekadar pelaksanaan tradisi, Puja Wali Krama menjadi ruang pendidikan batin. Di sinilah masyarakat belajar arti pengorbanan, keteraturan, dan dedikasi. Di sinilah kearifan lokal tampil sebagai penyeimbang dunia yang semakin cepat dan terkadang melupakan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Pada akhirnya, kegiatan ini menegaskan bahwa spiritualitas tidak pernah kehilangan relevansi. Di tengah modernitas dan disrupsi digital, manusia tetap mencari makna, dan makna itu seringkali ditemukan dalam heningnya doa, dalam sapaan sesama peziarah, atau dalam gemuruh angin yang membawa harum dupa dari kaki Semeru.
Ketika upacara ditutup dengan tabuh dan iring-iringan tirtha (air suci), banyak umat yang tetap tinggal sejenak, enggan beranjak. Mereka tahu bahwa yang mereka bawa pulang bukan sekadar bunga atau abu persembahan, tetapi cahaya batin yang menuntun hidup.
Pura Mandara Giri Semeru Agung kembali membuktikan, bahwa spiritualitas bukan milik satu agama, melainkan milik seluruh umat manusia yang ingin hidup selaras dengan alam, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri. Dan di kaki Semeru yang agung, semua itu menyatu dalam damai.
Reporter : juki