-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

LEGAL OPINION dan ROADMAP PENANGANAN

Monday, 13 October 2025 | 10:09 WIB | 0 Views Last Updated 2025-10-13T03:09:54Z

 


Lumajang,R_SEMERU.COM - Untuk Polres Lumajang dan Keluarga Korban. Terkait Pemberitaan: “Warga Mengamuk di RS Bhayangkara, Tuding Polisi Aniaya Terduga Pencuri Hewan hingga Tewas” (peristiwa Sabtu–Minggu, 12–13 Oktober 2025; diberitakan 13 Oktober 2025)

Lumajang, 13 Oktober 2925

Disusun oleh : 

Basuki Rakhmad (Oki)

Advokat, Konsultan Hukum dan Auditor Hukum

Dusun Kalibendo Utara RT 08 RW 03 Desa Kalibendo Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang Jawa Timur

HP : 081249990111

Ringkas Fakta Publik

Media lokal melaporkan seorang pria berinisial RH (diduga terlibat curwan) meninggal setelah penanganan kepolisian; keluarga/warga memprotes di RS Bhayangkara. Polisi menyatakan korban meninggal di rumah sakit, sebelumnya dibawa dari RSUD dr. Haryoto; protes massa terjadi pada 12 Oktober 2025 dan pemberitaan pada 13 Oktober 2025.


Pendahuluan

Setiap kematian yang terjadi dalam orbit kewenangan negara—apalagi menyangkut penanganan oleh aparat penegak hukum—adalah peristiwa yang menuntut respons yang cepat, cermat, dan transparan. Ia bukan semata perkara individual, melainkan ujian bagi tegaknya negara hukum (rechtsstaat), martabat HAM, serta kepercayaan publik kepada institusi penegak hukum.

Dalam konteks pemberitaan mengenai dugaan kekerasan terhadap seorang terduga pelaku pencurian hewan yang kemudian meninggal dunia dan memicu protes keluarga serta warga di rumah sakit, peristiwa ini menempatkan kita pada dua poros kewajiban sekaligus: pertama, kewajiban institusional Polri untuk menjamin proses yang akuntabel, proporsional, dan sesuai hukum; kedua, hak keluarga korban untuk memperoleh kebenaran (the right to truth), keadilan (the right to justice), dan pemulihan (the right to remedy).

Legal opinion ini disusun sebagai kompas praktis dan normatif bagi dua pihak yang paling berkepentingan: Polres Lumajang selaku institusi yang memikul kewajiban hukum, etik, dan administratif; dan keluarga korban selaku pemegang hak konstitusional atas perlindungan, informasi, partisipasi, serta keadilan. Tujuan utamanya adalah merumuskan langkah-langkah hukum yang konkret, terukur, dan berjenjang—mulai dari 0–24 jam, 24–72 jam, sampai 7–14 hari—yang jika dilaksanakan dengan disiplin akan mencegah hilangnya bukti, meminimalkan bias, menjaga ketertiban sosial, dan pada akhirnya membuka jalan menuju penemuan kebenaran materiil.

Kerangka normatif yang menjadi landasan mencakup KUHAP (antara lain kewenangan dan tata cara permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman, visum et repertum, dan autopsi; serta praperadilan), KUHP (delik penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan kelalaian yang berakibat kematian), UU Kepolisian, peraturan internal Polri tentang penggunaan kekuatan, kode etik profesi dan tata acara persidangan etik, hingga regulasi tentang rekam medis dan kewajiban fasilitas kesehatan menjaga data klinis. Di atas semua itu, berlaku pula standar HAM nasional dan rujukan praktik baik internasional—seperti Minnesota Protocol—yang menuntut investigasi kematian tak wajar dilakukan secara independen, menyeluruh, cepat, terdokumentasi, dan dapat diaudit.

Pendekatan yang digunakan dalam naskah ini adalah pendekatan “dua jalur yang saling melengkapi” (twin-track accountability). Di satu sisi, Polres Lumajang didorong untuk melakukan penanganan yang memenuhi asas legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas, dibarengi pengawasan internal-eksternal (Propam, Itwasda, Kompolnas, Komnas HAM), pengamanan bukti (CCTV, rekam medis, barang bukti fisik), dan gelar perkara yang terdokumentasi. Di sisi lain, keluarga korban dipandu menempuh upaya hukum pidana, administratif-etik, perdata (PMH dan ganti rugi), serta perlindungan saksi/korban untuk memastikan hak-haknya tidak sekadar diakui, tetapi sungguh-sungguh terlindungi.

Pada aras prinsip, naskah ini berangkat dari asas praduga tak bersalah bagi setiap individu yang diduga terlibat, sekaligus pengutamaan hak korban dan keluarganya untuk mengetahui sebab kematian secara sahih. Transparansi bukan sekadar pilihan komunikasi, melainkan instrumen legal yang menentukan sah atau tidaknya proses dan penerimaan publik terhadap hasil. Karena itu, komunikasi publik yang faktual, terukur, dan berkala menjadi bagian dari “rantai akuntabilitas” yang tak terpisahkan dari kerja teknis penyidikan dan pemeriksaan etik.

Ruang lingkup legal opinion ini tidak hanya memotret kewajiban dan hak, tetapi juga menyediakan perangkat operasional: daftar langkah cepat (immediate action), format dokumen permohonan autopsi/second opinion, surat preservasi bukti ke fasilitas kesehatan, pengaduan etik, kanal pengawasan eksternal, hingga opsi-opsi remedial melalui praperadilan dan gugatan perdata. Harapannya sederhana tetapi fundamental: agar proses berjalan di atas rel hukum acara yang benar, bukti terjaga, potensi rekayasa/tekanan dapat dicegah, dan putusan apa pun di ujung proses kelak dapat dipertanggungjawabkan—secara hukum, etik, maupun moral.

Akhirnya, legal opinion ini menawarkan peta jalan yang berimbang: tegas terhadap pelanggaran, adil terhadap semua pihak, peka terhadap dimensi kemanusiaan, dan sensitif pada kestabilan sosial di Lumajang. Dengan demikian, keadilan tidak hanya “dilaksanakan” tetapi juga “terlihat dilaksanakan”—sebuah syarat esensial bagi pemulihan kepercayaan masyarakat kepada institusi penegak hukum.


A. Rekomendasi untuk Polres Lumajang

1) 0–24 Jam (Tanggap Darurat & Pengamanan Bukti)

Tetapkan status “kejadian khusus” (hazard/atensi publik) dan bentuk Tim Investigasi internal lintas-fungsi (Satreskrim, Propam, Dokkes, Humas) dengan perintah tertulis; lakukan gelar perkara awal untuk menentukan koridor pidana/etik/disiplin. Dasar: kewenangan penyidikan & gelar perkara, Perkap 6/2019. 

Amankan TKP & barang bukti: pakaian korban, borgol, alat pengamanan, rekaman CCTV (RSUD/RS Bhayangkara/ruang pemeriksaan), rekam medis; buat berita acara penyitaan. Rekam medis wajib disimpan RS, dasar Permenkes 269/2008 (rekam medis) jo. Permenkes 24/2022 (RME). 

Forensik independen & autopsi lengkap sesuai KUHAP Pasal 133–134 (permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman; tata cara autopsi), dengan notulensi persetujuan keluarga atau penetapan penyidik bila perlu untuk kepentingan peradilan. Gunakan dokter forensik RS pendidikan (mis. dr. Soetomo) untuk menghindari konflik kepentingan. 

Lindungi saksi/whistleblower (anggota, nakes, warga) dan keluarga korban melalui koordinasi LPSK sesuai UU 31/2014. 

Hentikan sementara dari jabatan (non-job) terhadap personel yang diduga terlibat sampai klarifikasi selesai; proses etik/disiplin berdasar Perpol 7/2022 (Kode Etik & KKEP) dan Perkap 8/2009 (HAM dalam tugas Polri). 

Komunikasi publik transparan: rilis awal ≤24 jam, sebut garis waktu, langkah forensik, dan kanal pengaduan (Propam/Kompolnas). Hak masyarakat atas informasi & akuntabilitas melekat pada UU 2/2002 (fungsi melindungi, mengayomi, menegakkan hukum). 

2) 24–72 Jam (Pendalaman & Akuntabilitas)

Penyidikan pidana on the merits atas dugaan:

o Penganiayaan mengakibatkan mati (Pasal 351 ayat (3) KUHP) atau penganiayaan berat mengakibatkan mati (Pasal 354 ayat (2)),

o Kelalaian mengakibatkan mati (Pasal 359 KUHP),

o dan/atau memaksa pengakuan oleh pejabat (Pasal 422 KUHP), sesuai bukti. (Hukumonline+3; Hukumonline+3; 

Pastikan seluruh tindakan selaras Perkap 1/2009 tentang tahapan penggunaan kekuatan (legalitas–nesesitas–proporsionalitas–reasonableness). (Peraturan.gov+1)

Gelar perkara khusus dengan mengundang pengawas eksternal (Bidpropam Polda, Itwasda) dan notulensi terbuka untuk audit internal. Dasar & definisi gelar: Perkap 6/2019. 

SP2HP berkala kepada pelapor/keluarga; transparansi proses via e-Manajemen. Kewajiban SP2HP tersurat dalam manajemen penyidikan Polri. (Polri)

Koordinasi Komnas HAM & Kompolnas untuk pemantauan independen (Komnas HAM: UU 39/1999; Kompolnas: Perpres 17/2011). 

3) 7–14 Hari (Pemulihan Kepercayaan & Perbaikan Sistemik)

Sidang KKEP bagi pelanggaran etik; publikasi sanksi etik sesuai Perpol 7/2022. 

Evaluasi SOP & pelatihan ulang: penggunaan kekuatan (Perkap 1/2009), standar HAM (Perkap 8/2009), dan investigasi kematian sesuai Minnesota Protocol 2016 (standar internasional investigasi kematian tidak wajar). 


B. Rekomendasi untuk Keluarga Korban

1) 0–24 Jam

Minta autopsi lengkap/ulang & dokumentasi forensik secara tertulis (tembusan ke Kapolres, Dirkrimum Polda, Komnas HAM). Landasannya KUHAP Pasal 133–134; minta pelibatan dokter forensik independen. 

Surat “preservasi bukti” ke RS Bhayangkara & RSUD dr. Haryoto: larangan pemusnahan/overwrite rekam medis dan CCTV; dasar Permenkes 269/2008 jo. Permenkes 24/2022 (kewajiban fasilitas pelayanan kesehatan menjaga rekam medis). 

Ajukan perlindungan saksi/korban ke LPSK (untuk keluarga & saksi nakes); buka jalur restitusi/kompensasi via PP 7/2018 jo. PP 35/2020. 

Laporan Polisi (LP) khusus (bisa di Polda Jatim/Bareskrim) atas dugaan 351(3)/354(2)/359/422 KUHP; minta nomor LP & SP2HP bulanan. (Polri+4; Hukumonline+4; 

2) 24–72 Jam

Pengaduan ke Bidpropam/Propam Polda & Divpropam tentang dugaan pelanggaran etik/disiplin; rujuk Perpol 7/2022 (KKEP). 

Pengaduan Komnas HAM (dugaan penyiksaan/kematian dalam penanganan aparat), berlandaskan UU 39/1999 & ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (UU 5/1998). 

Laporan ke Kompolnas (pengawasan eksternal Polri) dan Ombudsman RI (maladministrasi pelayanan publik) untuk pengawasan proses. 

3) 7–14 Hari

Praperadilan di PN jika ada dugaan penangkapan/penahanan tidak sah atau penghentian penyidikan tidak berdasar; koridor Pasal 77–83 KUHAP (objek praperadilan telah diperluas oleh putusan MK). 

Gugatan Perdata (PMH) terhadap institusi/pelaku untuk ganti rugi materiil–immateriil berdasarkan Pasal 1365 BW; untuk kematian, gunakan Pasal 1370 BW (hak keluarga) dan bila relevan Pasal 1372 BW (pemulihan kehormatan). 


C. Kerangka Hukum Kunci (Ringkas)

KUHAP: Visum/Autopsi (Pasal 133–134); Praperadilan (Pasal 77–83). 

KUHP (lama; masih berlaku s.d. 2025): Pasal 351(3), Pasal 354(2) (penganiayaan → mati), Pasal 359 (kelalaian → mati), Pasal 422 (memaksa pengakuan). (Catatan: UU 1/2023—KUHP baru—sudah diundangkan namun belum berlaku penuh s.d. 2026). 

UU 2/2002 (Tugas & Prinsip Polri); Perkap 1/2009 (Penggunaan Kekuatan); Perkap 8/2009 (HAM dalam Tugas Polri); Perkap/Perpol 6/2019 (Manajemen Penyidikan & kewajiban SP2HP); Perpol 7/2022 (Kode Etik & KKEP). 

HAM: UU 39/1999; UU 5/1998 (Anti Penyiksaan); Minnesota Protocol 2016 (standar investigasi kematian tidak wajar). 

Perdata: Pasal 1365, 1370, 1372 KUHPerdata (PMH & ganti rugi akibat kematian/pemulihan kehormatan). 

Perlindungan Saksi/Korban: UU 31/2014 jo. PP 7/2018/PP 35/2020 (kompensasi, restitusi, bantuan).

Pengawas Eksternal: Kompolnas (Perpres 17/2011); Ombudsman (UU 37/2008). 


D. Checklist Dokumen 

Permohonan autopsi/second opinion (dasar KUHAP 133–134). (BPK Regulations+1)

Surat preservasi rekam medis & CCTV (dasar Permenkes 269/2008 jo. 24/2022). 

LP dugaan tindak pidana (351(3)/354(2)/359/422 KUHP). 

Pengaduan Propam/KKEP (Perpol 7/2022). (SatuData)

Pengaduan Komnas HAM & Kompolnas; laporan Ombudsman. 

Permohonan perlindungan & restitusi ke LPSK (UU 31/2014; PP 7/2018 jo. 35/2020). 

Permohonan praperadilan (Pasal 77–83 KUHAP) bila syaratnya terpenuhi. 

Gugatan PMH (1365/1370 BW) ke PN. 


Catatan Penting

Presumption of innocence berlaku bagi setiap individu/anggota hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Karena menyangkut kematian dalam penanganan aparat, standar pembuktian, pelibatan pihak independen, dan transparansi harus di atas rata-rata (best practice Minnesota Protocol).


Penutup

Peristiwa kematian dalam lingkup penanganan aparat adalah panggilan untuk menegakkan hukum dengan standar tertinggi—bukan sekadar karena sorotan publik, tetapi karena mandat konstitusional yang melekat pada negara hukum. Seluruh rekomendasi dalam naskah ini disusun untuk memastikan bahwa respons kita tidak reaktif dan sporadis, melainkan sistematis, terukur, dan dapat diuji.

Bagi Polres Lumajang, jalan ke depan menuntut kombinasi antara langkah cepat (pengamanan bukti, autopsi independen, non-job sementara personel terkait), langkah menengah (gelar perkara khusus, SP2HP berkala, kolaborasi dengan pengawas eksternal), dan langkah pembenahan (sidang etik yang kredibel, penguatan SOP, dan pelatihan ulang penggunaan kekuatan serta standar HAM). Pada saat yang sama, keberanian untuk membuka diri terhadap audit publik—melalui Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman—akan menjadi indikator utama bahwa institusi tidak sekadar patuh pada hukum, tetapi juga matang secara etika.

Bagi keluarga korban, peta langkah yang ditawarkan bertujuan memastikan hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan terpenuhi secara berlapis: memastikan autopsi yang sahih dan terdokumentasi; menjaga agar seluruh bukti klinis dan elektronik tidak hilang; menempuh jalur pidana, etik, dan administratif secara paralel; memohon perlindungan LPSK demi keamanan dan ketenangan menjalani proses; dan, bila diperlukan, menggunakan instrumen praperadilan maupun gugatan perdata untuk memperoleh ganti rugi dan pengakuan yuridis atas derita yang dialami. Seluruhnya dirancang untuk menutup celah prosedural, menghindari pengaburan fakta, dan menegakkan kepastian hukum yang berpihak pada kebenaran.

Kita menyadari bahwa proses hukum tidak berdiri di ruang hampa. Ia berdenyut di tengah masyarakat yang terluka, marah, dan cemas. Karena itu, narasi resmi dan komunikasi publik yang jernih—berbasis data, konsisten, dan tidak defensif—adalah bagian integral dari penegakan hukum itu sendiri. Transparansi yang bertanggung jawab akan menurunkan suhu ketegangan sosial, mencegah disinformasi, dan memberi ruang bagi semua pihak untuk menunggu hasil proses dengan kepala dingin. Pada titik inilah, “keadilan yang terlihat bekerja” (justice must be seen to be done) menjadi kunci pemulihan kepercayaan dan kohesi sosial di Lumajang.

Legal opinion ini bukan garis akhir, melainkan titik berangkat. Ia akan menemukan maknanya hanya sejauh dijalankan secara disiplin, diawasi secara independen, dan dievaluasi secara berkala. Ketika setiap langkah tercatat, setiap temuan ditindaklanjuti, dan setiap pelanggaran—jika terbukti—mendapat sanksi proporsional, maka kita bukan hanya menuntaskan satu perkara, tetapi juga memperkuat institusi untuk perkara-perkara di masa depan. Itulah warisan terbaik dari peristiwa pahit: pelajaran yang menjadikan sistem lebih adil, prosedur lebih rapi, dan manusia lebih terlindungi.

Dengan demikian, kami mendorong dilaksanakannya seluruh rekomendasi dalam tenggat waktu yang realistis namun cepat, sambil membuka ruang pengawasan dari keluarga korban dan publik. Semoga segala ikhtiar ini menghadirkan kejelasan sebab kematian, pertanggungjawaban yang layak, serta pemulihan martabat bagi keluarga yang ditinggalkan.

Demi tegaknya hukum, pemuliaan hak asasi manusia, dan kepercayaan masyarakat—

Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Oleh : Basuki Rahmad, SH., MH

×
Berita Terbaru Update