-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Dugaan Korupsi DAK TA. 2024, 20 Kepsek SD dan 3 SMP di Lumajang Ditekan Setor 3 sampai 4 Persen

Sunday, 1 June 2025 | 23:22 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-02T02:51:52Z

 


Lumajang,R-Semeru.com -- Aroma dugaan korupsi proyek DAK TA. 2024 kembali mencoreng wajah pendidikan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Sejumlah 20 Kepala Sekolah Dasar (SD) dan 3 SMP yang menerima Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2024 diduga mendapat tekanan untuk menyerahkan sejumlah uang kepada oknum Kabid Sarpras  Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lumajang. Besaran yang diminta mencapai 3 sampai 4 persen dari total dana bantuan yang di terima tiap lembaga.


Informasi yang diperoleh menyebutkan, praktik ini mencuat usai pertemuan tertutup para kepala sekolah penerima DAK yang digelar di SDN Jogotrunan. Dalam forum itu, disebutkan adanya permintaan potongan awal sebesar 4 persen. Namun karena adanya penolakan dari beberapa peserta, angka tersebut akhirnya disepakati turun menjadi 3 persen untuk lembaga SD sedangkan SMP tetep dipotong 4 persen.


Salah satu narasumber berinisial S, yang disebut berperan sebagai koordinator pengumpulan dana, tak menampik kabar tersebut. Ia mengakui bahwa ia dapat tugas untuk menerima uang (3%) dari para kepala sekolah dan setelah uangnya terkumpul kemudian diserahkan secara langsung dan tunai kepada seseorang berinisial R di rumahnya kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Lumajang, R merupakan pejabat di bidang sarana dan prasarana ( Sarpras ) Dinas Pendidikan Lumajang. 


“Memang awalnya diminta 4 persen, tapi karena banyak yang merasa keberatan, akhirnya turun jadi 3 persen. Dana itu kemudian dikumpulkan di termin kedua dan langsung saya serahkan ke Pak R di rumahnya kelurahan Kepuharjo," ungkap S, saat dikonfirmasi beberapa awak media, pada 26 Mei 2025, di kantor Biro Radarblambangan Lumajang.


Namun seiring mencuatnya kasus ini ke publik, dikabarkan bahwa sebagian dana yang sudah disetorkan mulai dikembalikan kepada kepala sekolah. Meski begitu, potongan untuk kebutuhan atribut fisik proyek seperti banner, prasasti, dan penyusunan laporan pertanggungjawaban (SPJ) masih diberlakukan.


Saat awak media menanyakan bukti otentik ke S, kalau dana hasil pungli tersebut di kembalikan ke para kepala sekolah, S tidak bisa menunjukkan bukti kwitansi pengembalian atau rekaman vidio, foto saat penyerahan.



Fauzi, Sekretaris Forum Jurnalis Independen ( FORJI ) Lumajang, mengecam keras dugaan praktik korupsi ini. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk segera turun tangan menyelidiki indikasi penyalahgunaan dana publik yang seharusnya digunakan murni untuk kemajuan pendidikan.


“Kalau ini benar, maka jelas masuk kategori pidana. Ini bukan sekadar kesalahan administratif, tapi potensi korupsi. DAK itu untuk murid dan sekolah, bukan untuk memperkaya oknum,” tegasnya.


Senada dengan itu, praktisi hukum dari Tim Advokasi Hukum Forum Jurnalis Independen (FORJI), Misdiyanto, S.H., juga menilai kasus ini sebagai bentuk penyimpangan wewenang. Ia menyoroti posisi kepala sekolah yang sebenarnya hanya sebagai pengawas kegiatan, bukan pengelola dana, apalagi pihak yang seharusnya dimintai setoran.


“Kalau memang benar uang diserahkan tunai tanpa dasar hukum, dan kepala sekolah hanya pengawas, maka ini bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Aparat penegak hukum wajib menyelidikinya,” ujar Misdiyanto.


Tinjauan Hukum : Ada Potensi Pelanggaran Berat


Dari sisi hukum, permintaan potongan dana oleh pejabat dinas kepada kepala sekolah dapat dikualifikasikan sebagai pungli dan penyalahgunaan jabatan. Merujuk pada :


* UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12 huruf e secara tegas melarang praktik memaksa pemberian dana tanpa dasar hukum.

* Permendagri No. 130 Tahun 2018 dan ketentuan teknis DAK Fisik menekankan pentingnya pengelolaan dana yang transparan dan bebas dari pungutan tidak sah.

* Kode Etik ASN juga melarang segala bentuk pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.


"Jika benar terbukti, pihak yang meminta potongan bisa dikenai sanksi pidana dan administrasi berat, sedangkan kepala sekolah yang memberi dapat dianggap turut serta jika diketahui melakukannya secara sadar dan sukarela," tegas Misdiyanto,S.H.


Misdiyanto, menegaskan akan terus memantau perkembangan kasus ini dan mendorong agar transparansi di sektor pendidikan benar-benar ditegakkan. “Kita ingin pendidikan menjadi zona integritas, bukan sarang pungli dan korupsi,” tungkas.

( bersambung...)


Reporter : bas & tim

×
Berita Terbaru Update